Kisah John, si buron

January 27, 2010

source: http://majalah.tempointeraktif.com/id/email/1990/01/20/NAS/mbm.19900120.NAS17768.id.html

TEMPO – Majalah Berita Mingguan (20 Jan 1990)

John Dixon-Jenkins, seorang buron dari Australia, sempat hadir di kongres filsafat internasional di Jakarta. Ia di Jjakarta berkeliaran bebas. Sebenarnya di australia ia dituduh 18 kasus kejahatan.

SEMULA, Kongres Filsafat Internasional, yang dilangsungkan di Jakarta 3-9 Januari silam, hampir berlalu tanpa publikasi media massa yang berarti. Mendadak muncul berita: “Seorang peserta Kongres Filsafat ternyata buron”.

Maka, kegegeran pun terjadi. Buron itu bernama John Dixon-Jenkins, 46 tahun. Hingga awal pekan ini, Jenkins yang berewok itu masih ada di Jakarta, dan bebas. Padahal, deretan “dosanya” menyeramkan. Misalnya, ia dituduh melakukan 18 kasus kejahatan. Antara lain, mengacau penjara Bendingo, Victoria, Australia, tiga tahun silam.

Pemerintah Australia kabarnya telah mengeluarkan surat penahanan terhadap dia, karena tak hadir di Pengadilan Melbourne, akhir tahun lalu Jenkins tak mengelak tuduhan. “Tapi saya punya alasan,” katanya pada TEMPO, Senin pekan ini.

Ia lahir di Australia tapi besar di Amerika. Pandangan hidupnya dipengaruhi sekali oleh kepedihannya menyaksikan ibunya digerogoti kanker akibat radiasi nuklir. Maka, pada 1960-an, ia mulai aktif dalam gerakan antinuklir dan kemanusiaan. Pada 1970 ia meraih gelar sarjana psikologi di Universitas Utah, lalu mengajar di Universitas Princeton. Ia sempat membentuk kelompok Gosayne (dari go dan sane, yang diartikan “ingat”). Tapi ternyata ia tidak betah juga.

Pada 1984, Jenkins pindah ke Australia, dan bergabung dengan gerakan antinuklir di Radical Street Theatre. Di sini ia mempraktekkan idenya: mengacau masyarakat, tanpa merusak atau menelan korban, guna menarik perhatian mereka. Misalnya, mengirimkan surat ancaman pengeboman, tanpa pernah menjadikannya kenyataan. Pada 1984 itu juga, Jenkins ditangkap dan disidangkan karena dituduh menanam dinamit di halaman gedung Pemerintah Federal Australia. Padahal, katanya, sebenarnya itu cuma “dinamit bohongan”.

Tanpa alasan jelas, kata Jenkins, ia divonis 6 tahun penjara dan ditempatkan di penjara Bendingo. Pada 1987, Jenkins mengambil alih penjara dan menyandera sembilan tahanan selama tiga hari. Tujuan: agar media massa meliput kasusnya. “Padahal, semua itu tipuan. Semua pihak, termasuk yang disandera, adalah kawan saya yang ikut bersandiwara,” ujar Jenkins.

Jenkins kemudian malah dipindahkan ke bui untuk tahanan politik. Di situ ia menyusun bukunya, The Unified Theory of Existence (A Love Story). Tatkala ia mendengar akan dipenjara seumur hidup, ia langsung mogok makan. Akhirnya, pada 1988, pengadilan memutuskan Jenkins bebas, dengan uang jaminan 50 ribu dolar AS.

Juli 1989, setelah masuk Islam dengan nama baru Muhammad al-Mahdi, ia ke Indonesia, dan sempat bertemu dengan beberapa orang dari Lemhanas, Depdagri, IAIN, dan Universitas Nasional. Waktu itulah ia bertemu dengan Rektor Unas, Sutan Takdir Alisjahbana, yang memberi tahu dia tentang rencana penyelenggaraan Kongres Filsafat Internasional di Jakarta, Januari 1990.

Karena itulah Jenkins datang dan sempat berbicara di kongres itu. “Sebenarnya dia tidak saya undang,” kata Sutan Takdir Alisjahbana, Ketua Himpunan Filsafat Indonesia. Kehadiran Jenkins rupanya terpantau oleh pihak yang berwajib di Australia. Terungkaplah bahwa Jenkins ternyata seorang buron, karena tidak memenuhi panggilan untuk menghadap ke sidang pengadilan pada 4 Desember 1989 di Melbourne.

Tampaknya Jenkins memang menghindarkan diri. “Penasihat saya mengatakan, bila saya kembali, saya akan sangat beruntung bila cuma divonis sepuluh tahun,” katanya. Lalu, bagaimana nasib Jenkins? Indonesia tak terikat perjanjian ekstradisi dengan Australia, meski bisa meminta bantuan Indonesia untuk menangkap Jenkins. Menurut Brigjen. Koesparmono Irsan, Direktur Reserse Mabes Polri, permintaan itu belum ada. “Mungkin masalahnya politis, kita harus hati-hati. Sampai saat ini belum ada kesalahan yang dibuatnya di sini. Jadi, tidak ada masalah bagi Indonesia,” kata Roni Sikap Sinuraya, Dirjen Imigrasi. Ahmadie Thaha & Yudhi Soerjoatmodjo

Victoria’s oldest prison, the Bendigo jail, was decommissioned yesterday after 145 years. Bendigo Senior Secondary College will use part of the historic building as classrooms.
Photo: Craig Abraham

Victoria's oldest prison, the Bendigo jail, was decommissioned yesterday after 145 years. Bendigo Senior Secondary College will use part of the historic building as classrooms.

By Mathew Murphy
January 6, 2006

IN A scene reminiscent of The Shawshank Redemption four plucky inmates at Bendigo prison hatched a plot to dig a tunnel through the floor of one of the cells, scale the tall stone prison wall and then escape in a stolen car.

It was April 1986, and while the prisoners’ freedom was short-lived, it did provide a lasting story, the details of which were hazy for many at a ceremony to mark the closure of the prison yesterday.

“I do know though that we definitely got them back,” said Bendigo Historical Society president Jim Evans.

It was one of the stories doing the rounds as Corrections Minister Tim Holding officially closed the book on the 145-year history of Victoria’s oldest prison.

Patrick McCormick, now former general manager at Bendigo prison, told the 300-strong crowd about Victoria’s longest siege, which occurred at the jail in 1987. John Dixon-Jenkins took six staff and three other prisoners hostage by barricading himself inside the jail with what he said was a homemade bomb before releasing them unharmed.

“The ensuing 46 hours were gravely concerning for all staff, and many have continued to be affected by this incident in the passing years,” Mr McCormick said.

Originally commissioned as Sandhurst Gaol in 1861, and changing its name to Bendigo Prison in 1891, the granite, sandstone and red brick prison housed a number of bushrangers in its early days. But since 1997, the prison operated as a drug and alcohol treatment centre for prisoners.

The State Government has decommissioned the old jail — the last of the 19th-century stone-walled prisons — in favour of the new Marngoneet Correctional Centre near Lara, to be opened this year. The 300-bed centre will accommodate many of the prisoners from the 85-bed Bendigo facility when it opens.

The last prisoners were moved to other facilities around the state last week.

Many of the 300 staff will take up other jobs with Corrections Victoria while others have opted to take redundancies.

Mr Holding inspected the small prison cells which, despite their size, managed to squeeze in a toilet, bed and a small cupboard.

He also stood below the gallows where three men were hanged.

Mr Holding said he expected the rolls of razor wire surrounding the perimeter of the building to be taken down before the building was handed over to Bendigo Senior Secondary College, which will use it as classrooms.

Hello world!

January 27, 2010

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!